IMAM SYAFI’I
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa
Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina, namun diantara pendapat ini terdapat
pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak
sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi’i
lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar
Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
NASAB
Imam Syafi’i merupakan keturunan dari
al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad
bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi
Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin
Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi
Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin
Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib
bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama
Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama
As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma
inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama
Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini
sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang
kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin
Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ “Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan
mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau
menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim
Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66). ”
MASA BELAJAR
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua
tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia
tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal
syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih
syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad
bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
BELAJAR DI
MAKKAH
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada
mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi
fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka
dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah
menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih
dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji
yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin
Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali
bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah
Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan
masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih
hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’
fiqih sebagaimana tersebut di atas.
BELAJAR DI
MADINAH
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru
fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik
dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin
Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut
menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu
Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara
itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di
Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah
menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada
Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”
Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila
datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.”
Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga
beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an,
lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca
Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah
diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas,
kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk
menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut
nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
DI YAMAN
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan
bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi
oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan
banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota
Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin
Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari
Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang
lainnya.
DI BAGHDAD,
IRAQ
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun
195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar
pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
DI MESIR
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal
di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan
mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim).
Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab
jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
KARYA TULIS
Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah”
buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya
yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan
ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad
berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al
Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta
(ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan
di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan
disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya),
‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah
lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan
perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
MAZHAB
SYAFI’I
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah)
sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk
Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia
telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah (pembela sunnah),”
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama
diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al
Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang
baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al
Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang
madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia
(hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”